Sunday, January 12, 2020

Proyeksi Indonesia Ke Depan

ilustrasi

Apa yang kubayangkan akan terjadi di Indonesia di tahun 2020 dan seterusnya?
Yang pertama adalah berubahnya kurikulum pendidikan di Indonesia.
Kelak Gilang dan Aksa gak perlu lagi menyiapkan otak mereka untuk menjadi pusat pengumpulan informasi, karena sudah ada Sandisk.
Gilang dan Aksa akan melatih otak mereka untuk mengolah informasi dan data yang mereka terima, sesuai dengan fungsi otak yang sesungguhnya.
Kelak mereka akan menjadi manusia yang memiliki otak yang analitis dan kreatif dalam hidupnya.
Kedua adalah diserapnya berbagai Sumber Daya Alam Indonesia bagi kesejahteraan bangsa sendiri.
Sawit yang selama ini berorientasi eksport, akan diolah menjadi BBM bagi transportasi massal. Biodiesel B30 akan berlanjut menjadi B50, lalu menjadi B100.
Di pertambangan, Vale yang punya spesialisasi di tambang Nikel sudah diakuisisi pemerintah. Sama bergengsinya dengan pengambilalihan Freeport.
Pemerintah juga sudah melarang eksport ore nikel.
Fasilitas pabrik baterai mobil didirikan di Morowali.
Jika dulu Saudi menjadi kaya raya karena tambang minyak, maka kelak Indonesia akan menjadi rujukan bagi teknologi mobil listrik. Pengolahan Nikel adalah kuncinya.
--------
Lalu apa tantangannya?
Kalian sering bilang, pemerintah lemah terhadap FPI, HTI dan kaum kadal.
Di situlah tantangan berikutnya.
UE dan AS gak akan diam, mereka akan pakai para kadal berbasis agama untuk bikin rusuh.
AS dan UE sangat paham bahwa minyak bumi makin tipis, Nikel adalah masa depan.
Sumber : Status Facebook Arif B Santoso

Jokowi Tak Gentar Sawit DIboikot Eropa

ilustrasi

Kalau ngeliatnya dari bentuk fisik, ga mungkin orang berpikir kejauhan. Cungkring, kalau marah ekspresinya malah keliatan wagu, pokoknya jauh banget dari kesan galak apalagi tegas.
Namun siapa sangka si kurus ini dalam waktu ga lebih dari seminggu sudah dua kali buka tantangan terbuka kepada Uni Eropa.
Sebagai gambaran, Uni Eropa adalah sebuah organisasi antar-pemerintahan dan Supra-Nasional yang beranggotakan 28 Negara.
Bukan cemen bukan kaleng-kaleng tapi kelompok negara sangat maju dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia saat ini.
Masih terkait dengan ngambeknya Uni Eropa karena dihentikannya ekspor nikel dalam bentuk ore, kali ini masalah CPO.
Narasi orang kaya kalau lagi ngeledek orang miskin biasanya ga jauh dari soal malas dan jorok.
Demikian juga negara negara super kaya tersebut ke Indonesia. Mereka menekan Indonesia soal nikel dikaitkan dengan joroknya cara berproduksi yang akan mengancam lingkungan hidup.
Kini giliran CPO diubek ubek dengan hal yang sama yakni pembabatan hutan alam dalam penciptaan perkebunan sawit dan efeknya terhadap lingkungan hidup.
Mereka boikot produk sawit kita. Mereka makin galak ketika kemauan mereka untuk dapat membeli nikel dalam bentuk ore kita tolak.
Ga puas dengan sikap kita, mereka ancam dengan lapor ke WTO.
Kaget, ga sangka, sekaligus heran, mereka terperanjat ketika si kurus ini malah bilang "lawan, siapkan lawyer terhebat".
Dan lebih terheran lagi ketika dengan suara datar muka ngeledek, presiden sebuah negara yang dimata mereka masih kaleng kaleng ini berkata "enggak apa apa....., saya konsumsi sendiri."
Dan......, tiba tiba Indonesia mengumumkan penggunaan solar B 30 secara publik.
(Sedikit informasi bahwa kode B 30 adalah menunjuk pada penggunaan komponen nabati sebesar 30% dan bahan bakar fosil 70%.)
Indonesia dengan bangga mengumumkan sebuah lompatan besar atas pencapaian kerja keras anak bangsa.
Indonesia melalui presiden yang kurus ini meresmikan pemakaian solar B30. Sekaligus menyatakan bahwa Indonesia adalah negara pertama dan satu-satunya di dunia yang telah menggunakan bahan bakar jenis ini.
Dapat dibayangkan betapa Uni Eropa akan termehe-mehe mendengar ini. Tekanan mereka justru membanting dirinya sendiri.
Apalagi dalam sambutannya, presiden Jokowi juga menyampaikan bahwa di tahun 2020 Indonesia akan sudah memproduksi solar B40 dan B50 pada 2021.
Ini bukan bluffing, ini realistis. Terbukti, B30 itu yang seharusnya baru siap untuk penjualan tahun 2020, telah diproduksi dan dijual kepada umum akhir tahun 2019 ini.
Jadi jangan kaget bila dalam waktu dekat ini perwakilan komisi Uni Eropa akan berkunjung ke Indonesia dan munduk-munduk memuji pencapaian anak bangsa sekaligus minta tolong tetap dikasi jatah untuk dapat beli nikel sukur sukur diperbolehkan belajar sulapan bikin minyak goreng jadi solar.

Konflik Natuna, Untung Ada Pak Jokowi

ilustrasi

Saya melihat ada keanehan dan kejanggalan terhadap kasus konflik perairan Natuna antara Pemerintah RI dan Pemerintah China. Mengapa klaim China atas perairan Natuna justru semakin menguat dan semakin brutal pasca kunjungan kerja resmi Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ke China pertengahan Desember 2019 ?
Sebelum-belumnya Pemerintah China tidak pernah sekurangajar ini kepada Pemerintah RI. Sikap politik santun China atas Indonesia ditunjukkan oleh sikap ramah secara personal Presiden China Xi Jinping kepada Presiden Jokowi dalam setiap event pertemuan dunia. Namun saat ini sikap China berubah total pasca kunjungan kerja Menhan RI Prabowo. Jujur hal ini menjadi pertanyaan besar di benak saya. Ini ada apa atau apa ada...?
Ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Salah satunya Pemerintah China tidak menghargai sosok Prabowo Subianto yang dianggap mempunyai gaya dan strategi diplomasi Prabowo yang terlalu lunak. Kemungkinan lain ada skenario besar yang sedang dibangun kelompok di tingkat global yang bekerjasama dengan kelompok tertentu di dalam negeri untuk menyudutkan Presiden Jokowi dengan cara mengobarkan sentimen anti China di Indonesia. Setelah isu sesat muslim Uighur meledak, kini dimainkan kasus Natuna.
Indonesia dan kita warga Indonesia beruntung punya Presiden Jokowi yang bersikap tegas menjaga kedaulatan NKRI. Saya berharap Tim Kerja Presiden Jokowi juga kuat mendukung ketegasan sikap dari Presiden Jokowi. Karena klaim sepihak China atas perairan Laut China Selatan dan Natuna yang disuarakan oleh Juru Bicara Kemlu China Geng Shuang adalah pelecehan terhadap kedaulatan RI.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI di bawah kendali Menteri Retno Marsudi sudah keras melawan klaim sepihak dari China. Menurut siaran persr resmi Kemenlu, klaim sepihak China tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Tapi usaha keras Menlu Retno Marsudi harus didukung oleh koleganya di Kabinet Indonesia Maju. Untuk itu reaksi lunak dari Menhan Prabowo Subianto sangat disayangkan. Sikap Menhan Prabowo yang terlalu 'soft' atas kekurangajaran China semakin membuat Pemerintah China jumawa dan semakin brutal.
Cilakanya sikap lunak Pemerintah RI sebelumnya juga ditunjukkan oleh Menteri Kelautan dan Perlukan Edhi Prabowo terhadap kapal asing yang merampok hasil laut Indonesia. Dan hal ini dimanfaatkan oleh kapal-kapal asing yang mulai berani masuk ke wilayah perairan Indonesia. Jadi tidak aneh kalau di media sosial mulai ramai dengan tagar "kembalikan Susi Pujiastuti".
Saran saya kepada Presiden Jokowi, hendaknya ditunjuk menteri yang berani dan bukan bermental ayam sayur untuk menghadapi agresi Diplomasi dari Pemerintah China. Jangan dibiarkan sosok menteri yang dulu katanya garang seperti macan Asia tapi kini sudah berubah melemah bukan mengaum lagi tapi sudah mengembik termehek-mehek, mewakili Indonesia dalam menghadapi China di level diplomasi dunia.
Indonesia memang sangat memerlukan investasi asing termasuk dari China untuk membantu pertumbuhan ekonomi dalam negeri, tapi kedaulatan NKRI jauh lebih penting dibanding sekedar investasi. Hal ini yang seharusnya dipertimbangkan oleh Menteri Luhut dan Prabowo.
Dalam kasus Natuna, sekali lagi Indonesia beruntung ada Presiden Jokowi, yang kuat, tegas dan berani menjaga kedaulatan NKRI. Di sisi ini saya bersyukur pilihan saya dan 55,5% rakyat Indonesia tidak salah.