Saturday, February 22, 2020

Pilkada Serentak 2020 Bukan Memilih Kucing Dalam Karung

ilustrasi

Perna dengar petuah bijak: “Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya BELAJAR, maka kamu harus mampu menanggung perihnya KEBODOHAN”..... yaa, petuah ini disampaikan oleh seorg Imam besar, Imam Syafii. Petuah salah satu Imam besar ini sangatlah visioner dan masih sangat relevan untuk saat ini.
Di tengah masyarakat yang sangat pragmatis, petuah ini hampir tidak berguna. Pada situasi ini, harapan kita bertumpu pada pengambil kebijakan. Namun, akankah lahir pengambil kebijakan yg visoner di tengah masyarakat yg pragmatis di era Demokrasi. Kita berada dalam situasi yang kontradiktif (bertentangan). Jika thesis bahwa: Pemimpin yang visoner, lahir dari pemilih yang visioner, maka bersiap2lah untuk menutup harapan lahirnya kepemimpinan yg visioner dalam masyarakat yang pragmatis.
Tulisan di bawah adalah gambaran sebuah kepemimpinan yg visoner, yg sesuai dengan petuah bijak Imam Syafii. Negara yg mungkin bagi kita jauh dari sebutan negara muslim, tp sangat menerapkan prinsip bernegara yg sangat menjunjung nilai2 baik, sesuai yang yg muslim ketahui.
Pada 2013, peneliti bernama Scheherazade S Rehman dan Hussein Askari, keduanya berasal dari George Washington University dengan judul penelitian “How Islamic Are Islamic Countries.” Hasilnya mencengangkan sekali, mereka menyebut New Zealand sebagai Negara paling Islami sedunia di urutan pertama dan posisi Indonesia berada pada urutan ke-140 dari 208 negara yang diteliti. Ajaran dasar Islam yang dijadikan indicator dimaksud diambil dari Al-Qur’an dan Hadits, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesame manusia.
Kedua, system ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan social. Ketiga, system perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Namun, yg menggugah akal-sehat saya adalah tentunya New Zealand sedang tdk membangun nilai2 itu dgn memperlajari Islam. Melainkan, ada nilai2 kebaikan universal yang menjadi acuan, dan nilai2 baik universal ini, adalah kebaikan yg sama dalam Islam, atau juga agama2 yg lain. Terus, kenapa bukan kita atau negara kita yg sejak kecil kita telah diajari membaca kitan suci? Ada yg perlu kita perbaiki, bukan dgn mencari siapa yg salah.
Kembali ke tulisan di bawah. Pendidikan itu adalah investasi. Hasilnya tidak dinikmati seperti kita membuat sebuah mie instant. Pendidikan butuh dedikasi, kesebaran, komitmen, perencanaan, indikator2 terukur dan target yg jelas. Akankah sebuah kebijakan memberi makan siang gratis pada anak2 sekolah berdampak pada kemajuan sebuah negara? Jika jangkauan berpikir kita hanya pada level makanan masuk kemulut sampai safety-tank, maka jelas itu tdk akan berdampak. Atau malah dianggap menghambur2kan uang, atau dianggap “proyek tulang”, bukan “proyek daging”.
Tapi, sudah lah.... Terlalu jauh jika mungkin kita mengambil contoh New Zealand seperti tulisan di bawah ini, karena kebanyakan penduduk negeri +62 ini hanya tertarik dgn keindahan alam negara itu sebagai destinasi liburan. Kita mulai saja dgn buku pelajaran yang dibebankan ke orang tua, yg setiap tahunnya berganti nama penerbit demi menikmati diskon penerbit baru 20-30% yang entah dinikmati oleh siapa. Jika masalah buku saja blom bisa dinikmati gratis oleh pelajar, jangqn berharap jangkauan berpikir pengambil kebijakan udah sampai pd level memberi makan siang gratis kepada para pelajarnya.
Tutup harapanmu tentang kemajuan masa depan, jika cara berpikir kita tidak perna berubah. Kau maksimalkan otak dan tenagamu hanya krn tuntutan entitas politik yg tdk berpihak, hanya menjadikan dirimu menjadi bagian rusaknya masa depan.

No comments:

Post a Comment